Agustus 26, 2012

Perdebatan yang bukan perdebatan

Siang ini, aku baru ketemuan lagi sama temen2 lama, temen 1 kos saat kuliah di Jakarta dulu. Cuma bertemu berempat, ngobrol ngalor-ngidul di sebuah tempat makan. Ngobrol seperti dulu, asik rasanya.

Okay, pertemuan berakhir dan kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Aku juga begitu, kembali lagi ke rumah ini. Apa yang ada dipikiranku? Ga enak, udah kebayang apa yang akan bapakku tanyakan padaku, dan bagaimanapun aku menjawabnya pasti berakhir dengan suasana yang ga enak. Ini malesnya kalo aku pergi keluar rumah ketemu teman-temanku. 

Aku sudah minta izin sebelumnya. Aku bilang mau ke tempat temanku di Magersari. Bapak langsung menjelaskan dimana lokasi Magersari itu. Aku pura-pura mendengarkannya dengan penuh hikmat. Kenapa pura-pura? Come on... aku sudah pernah ke sana, ini bukan yang kedua ato ketiga kalinya aku ke sana, ga perlu pake dijelasin gitu. Tapi aku berpikiran lain. Aku mengerti bapak hanya tidak ingin aku kenapa-kenapa, nyasar ato gimana, walau aku udah umur 23 tahun gini... But, it's okay, aku tidak ingin suasana jadi runyam karena aku terlihat tidak respect.

Sekarang pulangnya. I knew it will happen. Really... pasti tidak akan berakhir dengan baik, dan itu terjadi walau aku sudah berusaha menjawab sebaik mungkin. Berikut sekilas percakapanku:
Bapak : "Dari mana tadi Ris?"
Aku : (Come on...kan tadi aku udah izin) "Tadi makan bareng temen sambil ngobrol2"
Bapak : "Dari mana aja mereka? Dari Jakarta semua kah?"
Aku : "Iya, kan semuanya lulusan STAN Jakarta. Cuma ketemu 3 orang koq tadi"
Bapak : "Maksudnya mereka dinasnya dimana?"
Aku : "Oh... Ada yang di Kendari, Merauke, sama di Bima."
Bapak : "Ada yang di Merauke juga kah? Dinasnya dimana?"
Aku : "Yang di Merauke tu di Pajak. Kalo di Bima itu di DJKN." (Sebenernya aku rada lupa di DJKN ato bukan)
Bapak : "Yang Merauke itu yang rumahnya disana itu ya?"
Aku : "Bukan. Di Magersari."
Bapak : "Kalo yang di Magersari Bapak tau, yang anaknya tinggi pake kacamata biasanya diantar ibunya itu kan? Yang di Merauke itu lho rumahnya dimana?"
Aku : "Di Magersari juga."
Bapak : "Semuanya tiga-tiganya rumahnya di Magersari kah?"
Aku : "Nggak."
Bapak : "Gimana sih! Yang di Merauke itu lho rumahnya di Magersari kah?"
Aku : "Iya di Magersari."
Bapak : "Tiga-tiganya itu di Magersari kah?"
Aku : "Ngga."
Bapak : (Mulai kesel) "Gimana sih.."
Aku : "Yang di Kendari itu yang Bapak tau itu di Magersari. Yang di Merauke itu juga di Magersari. Yang satunya lagi yang di Bima itu rumahnya di Mojosari."
Bapak : (Diam sambil cemberut)

Setelah itu, ga beberapa lama kemudian aku masuk kamar, dan sengaja pintu kamar sedikit aku buka. Kemudian terdengar Bapak bicara sama Ibu dalam bahasa Jawa yang kurang lebih artinya adalah "Punya anak kok mulutnya begitu.". Ibu diam saja. Aku juga diam saja pura-pura ga denger. Dan aku langsung nulis ini.

Ini bukan pertama kalinya aku begini. Tidak cuma aku. Adikku pun mengalami hal yang sama seminggu lalu, untungnya ada orang lain yang sedang bersama kami saat itu, suasana pun dapat cepat kami alihkan. Aku ga ngerti, kenapa marah? Kalo aku salah, di bagian mana aku salah? Bapak justru langsung nge-judge semuanya sama, padahal ngga. Karena emang ngga, jadi ya aku bilang ngga. Aku jawab dengan penuh hati-hati. Mau dijawab gimana lagi emang? karena emang semuanya tu ga sama. Dan aku udah jelasin mana yang ga sama. Waktu sama adikku seminggu lalu malah lebih parah, walau sudah dijelasin, Bapak masih balik nanya begitu lagi, nanya apakah semuanya sama. Pengen dijawab iya biar dia puas dan cepet selesai, tapi ga enak karena itu brarti bohong. Dijawab jujur malah kesel gitu. Maunya apa sih...

Ini salah satu yang membuatku males keluar kemana-mana, pasti ditanyain dan kemungkinan besar akan berakhir ga enak seperti ini. Sebabnya pasti sama, aku cuma bilang bahwa yang dibilang Bapak itu kurang bener, dan aku jelasin yang sebenarnya. Dan akhirnya pasti dibilang aku tu ngomongnya yang ga enak. Ya ampun...mau dijawab ky gimana lagi coba..kalo emang ga gitu ya aku jawab ngga, dan cara ngomongnya udah sangat berhati-hati. Belajar dari mana lagi cara ngomongku ini kalo bukan dari mereka sbg orang tuaku.  Kayaknya salah mulu deh...padahal belajarnya dari mereka juga.... kalo gitu ngapain aku belajar dari mereka lagi kalo ujung-ujungnya masih dikatain begitu sama mereka sendiri... Salahku lagi? Koq aku terus?

1 komentar:

  1. apaah?? umur lu masih 23? ckck pembohongan publik niii *salahfokus*

    sabar aja ris,, namanya juga orang tua.. mamakku juga begitu.. di-iya-in aja, daripada dibilang anak durhaka >.<

    BalasHapus